Wayang merupakan
bayangan, gambaran atau lukisan mengenai kehidupan alam semesta. Wayang tidak
hanya menggambarkan manusia, namun kehidupan manusia dalam kaitannya dengan
manusia lain, alam, dan Tuhan. Alam semesta merupakan satu kesatuan yang
serasi, tidak lepas satu dengan yang lain dan senantiasa berhubungan.
Pertunjukan wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang dengan iringan gamelan
yang dimainkan niyaga dan nyanyian
atau tembang yang dinyanyikan seorang
sinden. Pertunjukan wayang kulit
dilengkapi dengan peralatan seperti kelir, blencong, kepyak, dan cempala.
Berikut merupakan hasil resume pertunjukan wayang
kulit dalam acara Festival Dalang Cilik yang diselenggarakan Universitas Negeri
Yogyakarta pada 5 Mei 2017:
A. DALANG
Pertunjukan
wayang kulit dalam festival tersebut salah satunya dimainkan oleh seorang
dalang cilik yang berasal dari Surakarta. Ia bernama Satria Qolbun Salim.
Satria merupakan perwakilan yang dikirimkan oleh salah satu sanggar yang ada di
Surakarta untuk mengikuti festival tersebut. Setiap festival yang diadakan di
UNY sanggar tersebut selalu mengirimkan wakilnya. Mereka akan diseleksi sebelum
diikutsertakan dalam festival. Dalam hal ini Satria ditunjuk untuk mewakili
Surakarta dalam fesival tersebut. Satria membawakan cerita yang telah
ditentukan dari sanggarnya.
B.
CERITA
Satria
dalam festival dalang cilik membawakan cerita yang berjudul “Kongso Leno”.
Cerita yang dibawakan menceritakan tentang perebutan kekuasaan Kerajaan
Mandura. Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Basudewa yang memiliki tiga orang
anak kandung yaitu Raden Kokrosono (Prabu Baladewa), Krisna (Noroyono), Dewi
Sambadra (Roro Ireng). Selain ketiga anak kandungnya, Prabu Basudewa memiliki
anak tiri yang bernama Kongso. Kongso berwujud buto yang memiliki hawa nafsu
untuk merebut tahta Kerajaan Manduro dan membunuh putra-putri Basudewa.
Awal
cerita diawali oleh Guruwangsa/Gorawangsa yang merupakan seorang raja dari
Kerajaan Guwabarong/Sangkapura, raja ini sudah lama jatuh hati kepada Dewi
Maerah (Amirah) yaitu istri Prabu Basudewa, tidak dijelaskan dengan detil
apakah percintaan mereka memang percintaan terlarang karena saling mencintai
ataukah, memang Dewi Maerah korban kejahatan Guruwangsa. Hingga tiba suatu
kesempatan, disaat kondisi Kerajaan Manduro sedang ditinggal rajanya berburu,
dan kerajaan sementara dipercayakan pada saudaranya Haryo Prabu. Kesempatan ini
digunakan oleh Guruwangsa untuk menyelinap masuk ke Istana. Raja raksasa ini
merubah wajahnya menjadi Prabu Basudewa, dengan mudah masuk kedalam istana.
Para penjaga dan Haryo Prabu pun tidak mengetahui apakah itu Prabu Basudewa
asli ataukah palsu. Hingga akhirnya perilaku Guruwangsa ini ketahuan oleh
Basudewa yang pulang dari berburu, selanjutnya menjadi dimulainya perang dingin
tiada hubungan asmara lagi antara Basudewa dan Dewi Maerah.
Dewi
Maerah hamil dan diusir dari Mandura, kemudian diterima oleh Suratrimontro adik
dari Guruwangsa di Kerajaan Guwabarong, disinilah Kongso lahir dan Dewi Maerah
meninggal saat melahirkanya. Disini juga Kongso dididik dan diprovokatori oleh
Suratrimontro agar kelak menjadi Raja di Mandura. Anak-anak Basudewa dari Istri
Dewi Rohini yaitu Kokrosono, dan dari Istri Dewi Badraini yaitu Noroyono dan
Roro Ireng yang sebenarnya adalah anak kembar. Ketiganya sejak kecil dititipkan
kepada Demang Antiyogopa di pertapaan Widorokandang. Berkat pendidikan di
pertapaan inilah ketiga putra Basudewa ini tumbuh menjadi orang yang baik,
mereka punya ciri fisik kalau Noroyono kulitnya hitam, kalau Kokrosono kulitnya
bule dan Roro Ireng parasnya cantik.
Ketika
tumbuh dewasa Kongso datang ke Mandura dan berhasil mengusir Basudewa dari
Mandura, kurang puas hanya dengan kudeta atau mengusir, selanjutnya
berkeinginan juga membersihkan keturunan Basudewa (pembersihan etnis )
sementara anak-anak Basudewa tidak ada di Mandura. Agar Kongso tidak
susah-susah mencari maka diperoleh akal yaitu berunding dengan Basudewa dan
mengatakan sebenarnya dia adalah orang yang berhak jadi Raja di Negeri Manduro
tetapi cara ini tidak jantan, sebagai kesepakatan dihasilkan bahwa akan
diadakan adu jago kalau Basudewa menang silahkan menduduki tahtanya lagi ,
tetapi sebenarnya adu orang yang jago berkelahi.
Maka
diutuslah Ugraseno saudaranya pergi untuk mencari jago oleh Basudewa. Ditengah
perjalanan Ugroseno bertemu kemenakannya sendiri yaitu Bima, Karena Bima adalah
putra Dewi Kunti yang merupakan adik dari Basudewa. Bima tidak keberatan
menjadi jago karena punya kepentingan juga sedang mencari Arjuna yang telah
lama pergi, ia meminta agar dibantu. Dihari yang telah ditentukan, Kongso
membawa jago juga yaitu Suratrimontro pamannya sendiri. Dengan akalnya yang
kreatif disekitar arena tanding telah disiapkan kolam air atau sendang
“panguripan” dimana bila ada orang yang mati dalam bertanding misalnya
pamannya, jika mayatnya dimasukkan dikolam itu mayat akan hidup lagi.
Pertandingan
dimulai, walaupun Bima orangnya besar sebenarnya dengan Suratrimontro jenis
raksasa juga, adalah sama kuatnya. Akhirnya dengan Kuku Pancanaka senjata khas
bima, Suratimontro bisa dibunuh, tetapi mayatnya selalu hidup lagi bila dimasukkan
ke kolam panguripan dan begitu seterusnya. Akhirnya Kokrosono bersama Arjuna
bertemu dan Kokrosono telah mengetahui bahwa ada yang curang dalam pertandingan
ini, maka Kokrosono menyuruh Permadi atau Arjuna untuk memasukkan senjata
Sarutomo ke kolam, seketika itulah tubuh Suratrimontro hancur lebur. Demikian
juga Kongso tewas oleh tumbak Kokrosono yang bernama Nenggala.
C.
WAKTU
DAN PERATURAN FESTIVAL
Waktu
pertunjukan setiap peserta:
SD : 35’-45’
SMP : 45’-55’
Peraturan
pertunjukan dalam festival dalang cilik antara lain peserta membawakan cerita
dengan variasi yang berbeda-beda. Setiap peserta diperbolehkan membawa gamelan
tersendiri dan juga diperbolehkan membawa niyaga
tersendiri sebagai kunci pemain gending. Hal ini juga dilalakukan oleh
Satria sebagai salah satu peserta dalam cilik yang membawa empat orang niyaga sebagai penabuh utama gending (grawit) dari cerita yang dibawakan
olehnya. Empat orang tersebut memainkan gending-gending kunci yang kemudian
diikuti oleh niyaga yang bertugas
dalam festival. Satria tidak membawa gamelan dikarenakan gamelan yang
dibutuhkan sudah disediakan oleh panitia.
Penulis: Danik Isnaini
Tag :
Resensi
0 Komentar untuk "Pertunjukan Dalang Cilik "